--> Skip to main content

Kedudukan Al-Quran, Hadis, dan Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam

Dalam al-Qur'an Allah Swt. berfirman, "... barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir." (Q.S. al-Ma'idah/5:44). 

Ayat tersebut mendorong manusia, terutama orang-orang yang beriman agar menjadikan al-Qur'an sebagai sumber hukum dalam memutuskan suatu perkara, sehingga dapat dikatakan bahwa siapa pun yang tidak menjadikannya sebagai sumber hukum untuk memutuskan perkara, ia dianggap tidak beriman.

Hukum-hukum Allah Swt. yang tercantum di dalam al-Qur'an sesungguhnya dimaksudkan untuk kemaslahatan dan kepentingan hidup manusia itu sendiri. Allah Swt. sebagai pencipta manusia dan alam semesta Maha Mengetahui terhadap apa yang diperlukan agar manusia hidup damai, aman, dan sentosa.

Namun demikian, masih banyak orang-orang yang mengaku beriman yang belum menjadikan al-Qur'an dan hadis sebagai pedoman hidupnya. Banyaknya pelanggaran terhadap hukum Islam.
A. Memahami Al-Quran, Hadis, dan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Ia menjadi pokok ajaran Islam sehingga segala sesuatu haruslah bersumber atau berpatokan kepadanya. Ia menjadi pangkal dan tempat kembalinya segala sesuatu. Ia juga menjadi pusat tempat mengalirnya sesuatu. Oleh karena itu, sebagai sumber yang baik dan sempurna, hendaklah ia memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis maksudnya adalah al-Qur'an dapat berlaku di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Benar artinya al-Qur'an mengandung kebenaran yang dibuktikan dengan fakta dan kejadian yang yang sebenarnya. Mutlak artinya al-Qur'an tidak diragukan lagi kebenarannya serta tidak akan terbantahkan.

Adapun yang menjadi sumber hukum Islam yaitu:

1. Al-Quran
Dari segi bahasa, al-Qur'an berasal dari kata qara'a - yaqra'u - qira'atan- qur'anan, yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur'an  adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang sampai kepada kita secara mutawattir, ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas, membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia. Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran syrat al-isra', ayat 9 yang artinya:
"Sungguh, al-Qur'an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar." (Q.S. al-Isra/17:9).

Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur'an memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Ia merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur'an surat An-Nisa ayat 59 yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan taatilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah Swt. (al-Qur'an) dan Rasu-Nya (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Dalam ayat yang lain Allah Swt. menyatakan:
"Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat." (Q.S. an-Nisa'/4:105)

Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda yang artinya:
"... Amma ba’du wahai sekalian manusia, bukankah aku sebagaimana manusia biasa yang diangkat menjadi rasul dan saya tinggalkan bagi kalian semua dua perkara utama/besar, yang pertama adalah kitab Allah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya/penerang, maka ikutilah kitab Allah (al-Qur'an) dan berpegang teguhlah kepadanya ..." (H.R. Muslim)

Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa al-Qur'an adalah kitab yang berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur'an sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur'an ada yang bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.

Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur'an kedalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.

a. Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang terangkum dalam rukun iman (arkanu iman), yaitu iman kepada Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah Swt.

b. Syari'ah atau Ibadah
Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan langsung dengan al-Khaliq (Pencipta) yaitu Allah Swt. yang disebut dengan ibadah mahdah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu mahdah. Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.
1) Hukum Ibadah
Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung perintah untuk mengerjakan salat, haji, zakat, puasa dan lain sebagainya.
2) Hukum Mu'amalah
Hukum ini mengatur interaksi antara manusia dengan sesamanya, seperti hukum tentang tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.

c. Akhlak atau Budi Pekerti
Selain berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur'an juga berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur'an menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik akhlak kepada Allah Swt., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah Swt. yang lain. Pendeknya, akhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara manusia dengan Allah Swt.-hubungan manusia dengan manusia-dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tecermin dalam konsep perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan kaki.

2. Hadis atau Sunnah
Secara bahasa hadis berarti perkataan atau ucapan. Menurut istilah, hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam.

Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
  • Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah saw. sampai kepada kita sekarang.
  • Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw.
  • Rawi, adalah orang yang meriwayatkan hadis.
Kedudukan Hadis atau Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-Qur'an. Artinya, jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-Qur'an, yang harus dijadikan sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. al-Hasyr/59:7, yang artinya:
"... dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah."

Demikian pula firman Allah Swt. dalam ayat yang lain yang artinya:
"Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka." (Q.S. an-Nisa'/4:80)

Fungsi Hadis terhadap al-Qur'an
Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur'an kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur'an.

Fungsi hadis terhadap al-Qur'an dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an yang masih bersifat umum
Contohnya adalah ayat al-Qur'an yang memerintahkan salat. Perintah salat dalam al-Qur'an masih bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. tentang salat, baik tentang tata caranya maupun jumlah bilangan raka'at-nya. Untuk menjelaskan perintah salat tersebut misalnya keluarlah sebuah hadis yang berbunyi, "Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat". (H.R. Bukhari).
b. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur'an
Seperti dalam al-Qur'an terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!” Maka ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi, “... berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim)
c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat
Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!” Ayat ini dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)
d. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur'an
Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur'an, diambil dari hadis yang sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya. Maka hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw yang artinya;
Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari) 

Macam-Macam Hadis
a. Hadis Mutawattir
Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta.
b. Hadis Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi'in sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang artinya, “Orang Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi).
c. Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian berikut.
  • Hadis Sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
  • Hadis Hasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis sahih, hadis ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
  • Hadis Da'if, yaitu hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis sahih dan hadis Hasan. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.
  • Hadis Maudu', yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.
3. Ijtihad sebagai upaya memahami al-Qur'an dan Hadis
Kata ijtihad berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid.

Syarat-Syarat berijtihad
Karena ijtihad sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihad antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihad dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihad.
  1. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
  2. Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh (sejarah).
  3. Memahami cara merumuskan hukum (istinbat).
  4. Memiliki keluhuran akhlak mulia.
Kedudukan Ijtihad
Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur'an dan hadis. Ijtihad dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur'an dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. yang artinya:
“Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur'an).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra'yi) tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami).

Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa seorang yang berijtihad sesuai dengan kemampuan dan ilmunya, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan jika kemudian ijtihadnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis yang artinya:
“Dari Amr bin As, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihād dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihādnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihād, kemudian ijtihādnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Bentuk-bentuk Ijtihad
Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, seperti berikut.
a. Ijma'
Ijma' adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Contoh ijma' di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaranlembaran terpisah menjadi sebuah mushaf al-Qur'an yang seperti kita saksikan sekarang ini.
b. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur'an atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur'an dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya.
c. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari'at Islam. Misalkan seseorang wajib mengganti atau membayar kerugaian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan.

Pembagian Hukum Islam
Para ulama membagi hukum Islam ke dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wad'i. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Hukum wad'i adalah perintah Allah Swt. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.

1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, seperti berikut.
  • Wajib (fardu), yaitu aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan berakibat dosa. Pahala adalah sesuatu yang akan membawa seseorang kepada kenikmatan (surga). Sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan membawa seseorang ke dalam kesengsaraan (neraka). Misalnya perintah wajib salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
  • Sunnah (mandub), yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah salat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.
  • Haram (tahrim), yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya adalah jika larangan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan, akan mendapatkan dosa dan hukuman. Akibat yang ditimbulkan dari mengerjakan larangan Allah Swt. ini dapat langsung mendapat hukuman di dunia, ada pula yang dibalasnya di akhirat kelak.
  • Makruh (Karahah), yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Misalnya adalah mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap karena zatnya atau sifatnya.
  • Mubah (al-Ibahah), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan ataupun ditinggalkan. Misalnya makan roti, minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.

2. Hukum Wad'i
Hukum wad'i ialah, firman Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halangan dari suatu ketetapan hukum taklifi. Oleh karena itu, pada hakikatnya, hukum wad'i sangat erat kaitannya dengan hukum taklifi, baik dalam bentuka sebab (sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab) suatu huum taklifi. Atau dalam bentuk syarat (syarat), sehingga di mungkinkan berlakunya (masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun dalam bentuk halangan (mani), sehingga suatu hukum taklifi menjadi tidak terlaksana (mamnu’). Di samping itu, termasuk pula dalam pembahasan hukum wad'i pembahsan yang berkaitan dengan ’azimah (hukum yang berlaku umum dan keadaan normal) dan rukhsah (keringanan). Ash-shihhah (sah) dan al-buthlan(batal) . Degan demikian, pembahasa tentang hukum wad'i berkaiatan dengan tujuh hal utama yaitu, sabab, syarth, mani, azimah, rukhsah, ash-shihhah dan al-buthlan.

Mungkin Anda Suka
Buka Komentar
Tutup Komentar